Selasa, 10 Maret 2015

Legenda Asal Usul Nama Bojonegoro (bagian 2)

Sesampainya di padepokan, Sang Resi menyambut Anglingdarma dengan senang hati. Ketika Anglingdarma menyampaikan maksudnya hendak melamar Dewi Setyowati, Sang Resi pun merestui dan mempersilakan Anglingdarma untuk memboyong putrinya, Dewi Setyowati.

Pesta pernikahan Prabu Anglingdarma dengan Dewi Setyowati berlangsung meriah. Semakin lama cinta mereka juga semakin bertambah. Pada suatu malam, dua ekor cicak terlibat dalam percakapan akrab. 
Ketika api telah berkobar, Dewi Setyowati melompat ke dalam api
"Hai, cicak betina! Lihatlah Prabu Anglingdarma dan Dewi Setyowati. Mereka pasangan yang serasi. Rasanya aku ingin seperti mereka!" kata cicak jantan.
"Cicak jantan, janganlah engkau bodoh! Tak mungkin kita bisa menjadi bangsa manusia!" kata cicak betina.

Anglingdarma yang mendengar percakapan kedua cicak itu tertawa terpingkal-pingkal. Dewi Setyowati kaget dibuatnya. Ia merasa tersinggung dengan ulah Anglingdarma. "Mengapa Kanda tertawa sendirian? Kanda sedang menertawakan diriku?" tanya Dewi Setyowati. "Tidak! Aku tidak sedang menertawakan dirimu, Dinda. Tetapi, coba lihatlah kedua cicak di dinding itu!" kata Anglingdarma.

"Ada apa dengan dua ekor cicak itu?"
"Mereka iri pada kita!"
"Dari mana Kanda tahu, mereka iri pada kita?"
"Aku tahu bahasa mereka, bahkan seluruh bahasa binatang di dunia ini."
"Oh, Kanda. Kalau begitu Dinda mohon, ajarilah Dinda supaya Dinda tahu bahasa mereka seperti Kanda."
"Maafkan aku Setyowati. Terpaksa aku tak dapat meluluskan permintaanmu karena ilmu ini tak boleh diketahui oleh siapa pun termasuk dirimu selain Kanda sendiri."
"Sekarang aku tahu. Kanda tak mencintai aku lagi."
"Janganlah berkata seperti itu."

"Buktinya, Kanda tak mau mengajariku bahasa binatang itu. Oh, Kanda Prabu. Kalau Kanda Prabu tetap tak memperbolehkan diriku untuk menguasai bahasa binatang itu lebih baik aku mati obong (mati dengan cara memasuki api yang sedang berkobar-kobar). Untuk apa hidup kalau tak dapat merasakan bahagia seperti Kanda Prabu," kata Dewi Setyowati menakut-nakuti Anglingdarma.
Berulang kali Anglingdarma memberi pengertian, menasihati, dan mengingatkan Dewi Setyowati. Namun, Dewi Setyowati tetap pada pendiriannya hendak mati obong. Akhirnya, dengan berat hati Anglingdarma menuruti kehendak Dewi Setyowarti yang hendak mati obong.

Semua peralatan yang hendak digunakan mati obong oleh Dewi Setyowati telah dipersiapkan. Para brahmana suci mengelilingi perapian sambil memanjatkan doa-doa semoga roh Dewi Setyowati diselamatkan oleh Hyang Mahaagung.
Ketika api telah berkobar, Dewi Setyowati melompat ke dalam api. Meski tubuhnya hangus terbakar, rohnya diselamatkan oleh Hyang Mahaagung dan kelak bisa menitis menjadi wanita utama yang akan menjadi istri Anglingdarma.

Meskipun Dewi Setyowati telah mati obong, kesuciannya tetap terjaga. Anglingdarma menyebutnya sebagai "Ibu Negara" atau Bojonegara, artinya 'seorang kekasih yang setia'. Dewi Setyowati tak hanya istri setia Anglingdarma, tetapi telah menjadi "Istri Negara" atau Bojonegoro.

Kesimpulan
Cerita ini termasuk legenda.
Kesetiaan Dewi Setyowati terhadap Anglingdarma dan Kerajaan Malowopati tetap dikenang oleh masyarakat di Kabupaten Bojonegoro sebagai seorang pahlawan yang ikhlas tanpa pamrih.
Cerita ini memberi pelajaran kepada kita mengenai kerelaan seseorang untuk berkorban. Seorang wanita juga memiliki hak yang sama dengan kaum pria, yaitu berbakti kepada bangsa dan negara.

SUMBER. ereading wap public


(Bersambung ke bagian 3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar