Nama Samin berasal dari nama salah seorang penduduk yang bernama Samin Surosentiko (= Surontiko). Samin Surosentiko dilahirkan pada tahun 1859 di Desa Ploso, Kediren, sebelah utara Randublatung, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Samin Surosentiko kerabat keturunan Pangeran Kusumaningayu atau Kanjeng Pangeran Arya Kusumawinahyu.
Pangeran Kusumaningayu adalah Raden Adipati Brotodiningrat yang memerintah di Kabupaten Sumoroto (sebelah baratkota Ponorogo). Samin Surosentiko seorang petani lugu yang memiliki tanah sawah seluas tiga bau atau lima are (Benda & Castles, 1969:210), satu bau ladang dan enam ekor sapi. Ia bukan tergolong petani miskin (Hutomo, 1996:14). Ayahnya bernama Raden Surowijoyo yang dikenal sebagai Samin sepuh dan bekerja menjadi bromocorah untuk kepentingan orang banyak yang miskin, di daerah Bojonegoro (Hutomo, 1996).
Kiai Samin memang bukan petani biasa. Ia adalah putra priyayi yang menyamar sebagai petani, tepat seperti yang dilakukan oleh Pangeran Handayaningrat, Pangeran Panggung, Ki Kebo Kanigara, dan Ki Kebo Kenanga yang menyamar sebagai ‘orang kecil’, demi suatu janji untuk membantu mereka memperoleh harga diri (Sastroatmodjo, 2003:34-35). Kiai Samin Anom (baca: Surosentiko) dalam kehidupan penyamarannya sebagai kawula-alit itu kemudian mempersiapkan Desa Ploso Kediren sebagai basis pemberontakan melawan pemerintah Hindia Belanda (Sastroatmodjo, 2003:17).
Nama asli Samin Surosentiko adalah Raden Kohar, kemudian diubah menjadi Samin. Nama Samin dipilih karena lebih bernafas kerakyatan. Samin Surosentiko anak kedua dari lima bersaudara, kesemuanya laki-laki. Di desanya Samin Surosentiko disamakan ‘dengan Bimasena (Werkudara), putra kedua dari lima bersaudara kesemuanya laki-laki, yakni Pandawa dalam mitologi wayang.
Ki Samin Surosentiko yang lahir tahun 1859 di Ploso, sebagai cucu Pangeran Kusumaningayu (?), Bupati Sumoroto, sebenarnya sejak kecil dijejali oleh pandangan-pandangan figuratif pewayangan yang mengagungkan tapa brata, gemar prihatin, suka mengalah (demi kemenangan akhir) dan mencintai keadilan. Rupanya ia terpukul melihat realitas sekeliling, di mana rakyat yang terisap dan terjajah tak bisa menggeliat lagi karena menemui kebuntuan dan kebingungan.
Dari ayahandanya, Raden Surowijoyo, pemuda Kohar yang kemudian hari menamakan diri Ki Samin Surosentiko) dan belajar tentang realisme politik anak jajahan,hal mana membuktikan jelas bahwa sang bapa tidak tertarik akan dunia kepangrehprajaan, dan lebih tertarik pada kehidupan bohemian dan mistik.
Kekecewaan yang menumpuk serta bahu yang terlalu ringkih untuk memikul kegetiran membawa bapak itu ke gelanggang perjudian, madat, dan khabarnya sampai memasuki dunia hitam: bromocorah. Surowijoyo sering merampok keluarga kaya, dan hasilnya dibagi-bagikan kepada fakir miskin. Sebagian dari perampokan ini digunakan untuk membiayai pembangunan unit terkecil masyarakat Utopia yang disebutnya ” Tiyang Sami AmirT. (Sastroatmodjo, 2003:59-60).
Sekitar tahun 1890, pada waktu itu berumur 31 tahun, Samin Surosentiko mulai menyebarkan ajarannya. Para pengikutnya orang-orang satu desa. Dengan laku tapabrata, ia memperoleh wahyu kitab Kalimasada. Sejak mendapat wahyu kitab Kalimasada itu pengikut Samin Surosentiko bertambah banyak. Pengikutnya tidak hanya terbatas dari desanya sendiri, tetapi juga orang-orang yang berasal dari desa-desa lain.
Kenyataan membuktikan bahwa rakyat Desa Tapelan, Ploso, dan Tanjungsari mengangkat Kiai Samin sebagai raja dengan gelar Prabu Panembahan Suryongalam (cahaya alam semesta), dan sebagai patih merangkap senapatinya, ia menunjuk Kamituwa Bapangan dengan gelar Suryongalogo (cahaya medan laga, artinya pahlawan yang selalu jaya), sekaligus membuktikan bahwa wadah aristokrasi feodal tetap diagulkan sebagai lambang kekuasaan pribumi Jawa yang sah dan berdaulat (Sastroatmodjo, 2003:18).
Pada hari-hari berikutnya pengikut Samin Surosentiko semakin berkembang, bertambah banyak. Pada bulan Januari 1903, Residen Rembang melaporkan bahwa pengikut Samin (saminisi) berjumlah sekitar 772 orang di desa-desa Blora selatan, sebagian di wilayah Bojonegoro. Ada juga pengikut Samin yang berasal dari Ngawi dan Grobogan. Selanjutnya pada tahun 1906 pengikut Samin ada di wilayah Rembang. Penyebar ajar an Samin di wilayah ini dilakukan oleh menantu laki-laki Samin, yakni Surokidin dan Karsiyah (Benda dan Cantles, 1959:211).
Pada tahun berikutnya, pengikut Samin mencapai 3000 orang. Didengar kabar bahwa pada 1 Maret 1907 orang Samin akan mengadakan perlawanan kepada pemerintah Belanda. Karena kabar itu, Kontrolir Belanda melakukan penangkapan terhadap sejumlah orang Samin yang pada waktu itu sedang mengadakan selamatan (slametan) salah satu keluarga di Kedungtuban.
Slametan kerabat ini dianggap bahwa orang-orang Samin sedang mengadakan persiapan perlawanan kepada pemerintah Belanda. Saat itu Samin Surosentiko tidak ada di tempat, karena sedang ada di Rembang. Selanjutnya Samin Surosentiko diinterogasi dan bersama dengan delapan pengikutnya ditangkap dan diasingkan ke Sumatera. Di pengasingan, Sawahlunto, Samin Surosentiko meninggal dalam status tahanan (1914).
sumber : jawatimuran.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar