Desa tempat warga Samin tinggal hampir seluruhnya terpusat dekat hutan jati di daerah Blora dan Bojonegoro, yang terbelah oleh Bengawan Sålå. Ini mengakibatkan peneliti Saminisme, seperti H.J. Benda dan L. Castles, mengaitkan warga Samin dengan orang Kalang.
T. Altona, rimbawan Belanda yang ditempatkan di Bojonegoro pada dasawarsa 1920-an, menulis artikel tentang asal-usul orang Kalang, suku penghuni hutan yang sudah punah.[1] Secara rasial Kalang barang kali berasal jauh di dalam masa prasejarah. Tempat kediaman orang Kalang ini bertepatan dengan lokasi banyak desa warga Samin seperti ditunjukkan oleh peta yang terkandung dalam laporan J.E. Jasper,[2] dan versi yang lebih jelas oleh H.J. Benda dan L. Castles.[3]
Menurut C.L.M. Penders, dalam penelusuran lebih lanjut, hubungan yang mungkin antara warga Samin dan orang Kalang ditemukan. Hal itu demikian menggoda, meski bukti yang disuguhkan tidak langsung alias hanya sambil lalu untuk menopang hipotesis bahwa Saminisme sebenarnya bukan sesuatu yang baru, melainkan hanya pernyataan ulang, peneguhan kembali sistem kepercayaan, pandangan hidup, dan budaya, yang telah lama termusnahkan oleh kedatangan Hindhu dan Islam.[4]
Akan tetapi, Profesor Suripan Sadi Hutomo menulis bahwa orang Blora melarikan diri ke hutan daerah itu untuk hidup bersama orang Kalang, yang tinggal di daerah Blora dan Bojonegoro, setelah Peristiwa Pamblora ketika Sultan Hadiwijåyå membumihangus Blora pada tahun 1556. Ia menambahkan bahwa cerita tertua tentang orang Kalang mengaitkannya dengan kerajaan Medhang Kamulan.[5]
Siapa sebenarnya orang Kalang? Menurut tradisi Jåwå, orang Kalang itu suku terpisah dengan adat yang berbeda dari mayoritas orang Jåwå. Mitologi Jåwå menggambarkan mereka juga punya penampilan fisik berbeda, termasuk sisa ekor yang belum sempurna. Salah satu mitos tentang asal-usul orang Kalang yang umum diceritakan di daerah pantai utara Jåwå dikutip oleh T. Altona.
“Dempuawang landed in Java and being thirsty he drank from the young coconut offered to him by Kjai Iniwirio and then used one of the coconut shells to urinate in. The urine was drunk by a pig (tjèlèng mendalungan) which was roaming around in the forest and was eagerly wanting to become a human being and so became with young. Kjai Iniwirio comitted incest with his beautiful daughter called Embok Trisnå and the offspring of this union was a brown dog which was rejected by the daughter. The dog roaming around in the forest, met the pig, which shortly afterwards gave birth to a daughter: Dèwi Rayung Wulan, who spent her time weaving in a shelter. One day she lost her shuttle and made a vow that she would marry whoever brought it back. The returned the shuttle and kept the girl to her promise. Soon afterwards she bore two boys: Radèn Sujalmo dan Radèn Joyolengkoro, who spent their time hunting aided by the dog… The sons, however, moved with their 40 concubines and became the ancestors of the Kalangs.”[6]
{Dampo Awang mendarat di Tanah Jåwå dan saat haus ia minum air kelapa muda yang ditawarkan kepadanya oleh Kiai Iniwiriå dan ia kemudian menggunakan salah satu batok kelapa itu untuk kencing. Air kencing itu diminum oleh cèlèng mendalungan (babi hutan) yang berjalan mondar-mandir di hutan dan bersikukuh ingin menjadi manusia dan berubahlah dia dara muda. Kiai Iniwiriå mengawini anak perempuannya sendiri yang cantik bernama Embok Trisnå dan hasil ikatan ini berupa anjing coklat yang tidak diakui oleh ibunya. Si Anjing berkeliaran di hutan, bertemu babi hutan itu, yang segera setelah itu melahirkan anak perempuan: Dèwi Rayung Wulan, yang menghabiskan waktunya untuk menenun di tempat tersembunyi. Pada suatu hari dia kehilangan puntalannya dan bersumpah bahwa dia akan menikahi siapa pun yang dapat menemukannya. Anjing itu mengembalikan puntalan tersebut dan menagih janji Sang Dara. Segera setelah itu dia melahirkan dua bocah lelaki: Radèn Sujalmå dan Radèn Jåyålengkårå, yang menghabiskan waktu mereka untuk berburu ditemani Sang Anjing… Akan tetapi, kedua anak itu pindah dengan 40 gundiknya dan menjadi nenek moyang orang Kalang.}
Akan halnya Dampu Awang, Penanggung Jawab Sejarah Cirebon, Pangéran Suléman (P.S.) Suléndråningrat menulis kisah berikut:
“Menurut cerita, Dampu Awang itu… pedagang bangsa Cinå kaya raya yang beragama Islam. Dulunya (ia) identik dengan nama… Sam Po Kong atau Sam Po Toa Lang atau Sam Po Toa Jin atau Sam Po Bo. Pada zaman para wali, ia tertarik melawat ke Pulau Jåwå dengan maksud bermusyawarah agama Islam dengan para wali. Setelah mendarat di Junti, Cirebon, ia melihat… putri Ki Gedhèng Junti yang sedang berada di luar rumahnya. Ia tertarik… dan ingin melamarnya. Akan tetapi, setelah ia mengajukan lamaran dengan dibarengi pengiriman mas picis dunyå brånå, lamarannya itu ditolak secara halus. Ia tidak menerima dan memaksa agar lamarannya itu diterima. Lalu, ayah putri Junti mengadakan sayembara sebagai ikhtiar menolak lamarannya itu. Di sekeliling rumah Ki Gedhèng Junti, ada… (pagar) keliling dari bambu ori yang tebalnya kurang lebih dua meter dan tingginya tiga meter. Syarat sayembara ialah kalau Dampu Awang bisa merobohkan… (pagar) kelilingnya itu dalam satu malam, … lamarannya akan diterima. Maksudnya (yang merobohkan itu) Dampu Awang pribadi. Tapi Dampu Awang menggunakan akalnya. Ia mengumumkan kepada khalayak ramai bahwa pada… malam… (itu,) ia akan surak (menaburkan mas picis dunyå brånå) sebanyak-banyaknya… ternyatalah ribuan manusia dengan alat… linggis, wadung, timbris, pacul, golok, kampak… mengobrak-abrik… (pagar) keliling itu untuk mengambil mas picis dunyå brånå yang ditaburkan oleh Dampu Awang di sana. Dan akhirnya pada malam itu juga seluruh… (pagar) keliling itu porak poranda, ambruk sama sekali. Melihat ini, kemudian secepatnya Ki Gedhèng Junti dan putrinya lari keluar menuju ke selatan, dengan maksud mohon perlindungan Syèkh Bentong… (anggota) Wali Sångå di Kebon Gayam, kompleks Kasènd(h)èn, Cirebon. Lalu Dampu Awang menyusul dan minta dengan kasar buronannya itu dari Syèkh Bentong. Oleh karena itu, lalu Dampu Awang bentrok dengan Syèkh Bentong, yang akhirnya Dampu Awang kalah. Ia lari menuju ke Palémbang. Dalam larinya, Dampu Awang sempat mendengar Syèkh Bentong berkata, ‘Ki Sanak, kelemahan Anda adalah memaksa orang yang tidak mau.’ Kemudian Syèkh Bentong menikah dengan putri Junti itu dan selanjutnya rakyat Junti memeluk Islam kepada Syèkh Bentong.”[7]
Masih tentang Dampu Awang, di daerah Lasem, Rembang, ada legenda berikut:
“Ketika Dampu Awang sampai di Lasem, ia melihat adik perempuan Sunan Bonang. Ia jatuh cinta (ke)padanya dan kemudian melamarnya. Sunan Bonang mau menerima lamaran Dampu Awang asal… Dampu Awang dapat membuat perahu yang dapat berlayar (terbang) di angkasa. Dampu Awang yang sakti itu menyanggupinya. Ia kemudian pulang ke Negeri Cinå membuat perahu yang dapat terbang di angkasa. Setelah perahu terbang selesai dibuatnya, Dampu Awang kembali ke Lasem dengan mengendarai perahunya. Sesampai di Lasem, Sunan Bonang berang sebab merasa kesaktiannya ada yang menyamainya. Sunan Bonang lalu mengambil sumpit… sakti…nya. Perahu Dampu Awang disumpit (oleh) Sunan Bonang sehingga pecah berantakan. Konon, layar perahu Dampu Awang menjadi Gunung Layar di daerah Lasem dan jangkarnya jatuh di pantai Rembang (kini ada di Taman Kartini, Rembang). Setelah kejadian ini, Dampu Awang tak lagi melanjutkan niatnya untuk memperistri adik perempuan Sunan Bonang.”[8]
Aneh dan tidak masuk akal, ya? Namanya juga dongeng. Dengan mengutip pendapat Prof. Dr. Slamet Mulyana bahwa Sunan Bonang itu sebenarnya adalah Cinå beragama Islam, Profesor Suripan menulis, “jika hasil penelitian para ahli sejarah dan filologi benar, … peperangan antara Dampu Awang dan Sunan Bonang itu adalah pertikaian antar-orang Cinå. Mungkin mereka itu berasal dari puak yang berbeda dalam perebutan pengaruh di kawasan Pulau Jåwå. Pertikaian itu begitu hebat sehingga meninggalkan kesan begitu mendalam di (dalam) ingatan orang Jåwå. Kesan ini lalu melahirkan beberapa versi cerita.”[9]
Yang pasti, legenda yang diceritakan oleh T. Altona tentang asal-usul orang Kalang sebagai keturunan Dampu Awang itu mengundang W.F. Stutterheim melihatnya berisikan gambaran pra-Hindhu dan ia yakin orang Kalang pada kenyataannya kelompok penduduk asli kuno, yang tinggal di hutan pada masa Hindhu yang menjadi terpengaruh dalam beberapa adat dan tata cara agama baru itu. Lebih dari itu, orang Kalang dijadikan kelas sudrå khusus dan sebagai akibatnya tergolong “… had become a firmly cohesive group, which continued to value the original indigenous stories about their origins, which the other Javanese had forgotten, and as a result became sufficiently unique that they were able to withstand the influence of Islam much longer than the other peoples surrounding them” (… telah menjadi kelompok yang terpadu erat, yang melanjutkan nilai kisah pribumi asli tentang asal-usul mereka, yang orang Jåwå lain telah melupakannya, dan sebagai hasilnya mereka menjadi cukup unik dan mampu menahan pengaruh Islam jauh lebih lama ketimbang orang lain di sekitarnya).[10]
Stutterheim juga melihat keserupaan antara orang Kalang dengan orang Tengger dan Badui, meski dua yang terakhir ini karena keterasingan geografis yang jauh lebih besar dari pusat budaya di dataran telah mampu memelihara identitas budaya dan suku mereka sendiri, sementara orang Kalang tentu saja secara berangsur-angsur menjadi kelompok yang tak lagi terpisah.
Akan tetapi, Altona menolak dugaan beberapa penulis sebelumnya yang memandang orang Kalang itu keturunan langsung Negrito, salah satu tipe penduduk kepulauan Indonesia yang diketahui paling awal. Kenyataan bahwa bagian besar keturunan Kalang berkulit sangat gelap, memperlihatkan struktur wajah yang agak kasar, dan berambut keriting terpotong pendek menjelaskan kasus atavisme. Walau bagaimanapun, pendapat bahwa atavisme, dengan bukti yang lebih luas, di kalangan Kalang karena keberadaan mereka yang lama terasing dapat dengan baik ditolak untuk mendukung teori Negrito, khususnya karena hilangnya identitas rasial yang jelas melalui kawin silang dengan orang Jåwå barang kali hanya awal perolehan momentum selama abad ke-19.
Pada pihak lain, Altona juga sangat yakin Kalang merupakan sub-kasta sudrå yang menurut aturan Hindhu dikutuk tinggal di hutan, tugas mereka yang utama memotong dan mengangkut kayu bagi raja. Kalang itu manusia perbatasan yang membuka wilayah baru bagi permukiman petani, sementara mereka sendiri masih tetap berpindah. Baru setelah Sultan Agung pada tahun 1625 memangku takhta Mataram dan aturan diislamkan, orang Kalang diperbolehkan tinggal menetap. Sejak itu, Kalang berangsur-angsur menyederajatkan diri, mereka menjadi petani, dan melalui kawin silang, khususnya selama abad ke-19, kehilangan identitasnya mereka yang terpisah dan juga status mereka sebelumnya yang di luar kasta. Altona juga mendapati bekas desa Kalang terbatas sendiri di daerah selatan, dan bagian distrik utara Bojonegoro, tak satu pun ditemukan di bagian timur keresidenan itu. Sungguh mencolok bahwasanya pedesaan Samin juga terbatas pada daerah yang sama.[11]
Walau bagaimanapun, diduga juga bahwa meski orang Kalang menghilang sebagai kelompok penduduk terpisah, beberapa kepercayaan budaya dan agama serta pola perwatakan mereka tidak berarti ikut mati dan pada kenyataannya dapat ditemukan kembali pada warga Samin serta kepercayaan dan kegiatan mereka. Kalang dilaporkan berpikiran sangat bebas dan sukar diperintah, karena itu Altona menyela: mereka tidak mungkin bersikap sejauh-jauh melakukan perlawanan pasif seperti warga Samin. Mereka tampaknya sangat kukuh melindungi status bebas yang baru mereka peroleh dan dalam perwatakan, mereka tampak terdorong oleh pertimbangan itu:
“In the early days we could be ordered around to work for others; but now we are looking after our own interest. Moreover, they also known to have no fear of the so-called singit areas in the forest, that is, areas which have a bad reputation here in Bojonegoro usually former bathing areas dan pleasure gardens of high ranking persons, which were out of bounds for commoners but where slaves had to work. The usual curses connected with winds, bad spirits, tigers, etc., do still exist with respect to those areas but they do not affect the Kalangs…”[12]
{Pada masa lalu, kami diperintahkan untuk bekerja bagi orang lain, tetapi kini kami melihat kepentingan kami sendiri. Lebih dari itu, mereka juga diketahui tak takut daerah yang disebut singit (angker) di hutan, yang ialah daerah yang terkenal buruk di sini di Bojonegoro biasanya bekas daerah pemandian dan taman pelesiran orang kalangan tinggi, yang terlarang bagi orang awam, kecuali budak yang harus bekerja. Kutukan umum itu terkait dengan angin, ruh jahat, macan, dan sebagainya, masih ada dan dipatuhi di kawasan itu tetapi tidak memengaruhi orang Kalang…}
Juga banyak orang Kalang diwataki dengan tak kenal istirahat, sering pindah dari desa ke desa, dan akhirnya menunjukkan sikap yang rada berbeda terhadap Islam.[13]
Gambaran orang Kalang ini dapat secara setara digunakan dengan baik untuk menggambarkan warga Samin. Pernyataan Altona tentang perlawanan pasif, menurut Penders, dapat dibantah dengan pendapat bahwa perlawanan ini belum diperlukan hingga akhir abad ke-19 sewaktu tekanan perpajakan dan campur tangan lain oleh pemerintah dalam urusan swasta pertanian mulai dirasakan bahkan lebih dalam. Lebih dari itu, baru pada kira-kira tahun 1890, Ki Samin bertekad menyebarkan ajarannya.[14]
Semua pengamat menekankan semangat bebas warga Samin dibanding orang desa lain di sekitar mereka.[15] Hubungan yang mungkin dengan Kalang boleh jadi menjelaskan kenapa orang Samin lebih menekankan kemerdekaan pribadi mereka, melawan saat ditekan habis oleh pejabat, dan menekankan pengelolaan tanah dengan cara mereka sendiri. Kenyataan bahwa warga Samin membangun lebih banyak lumbung di tanah mereka –dan demikianlah seharusnya petani unggul berperi-laku– ialah karena tanah ini belum lama diperoleh secara jujur. Barang kali itu baru setelah tahun 1865, ketika bland(h)ong diensten yang dibenci, yang mungkin menekan bahkan lebih keras orang Kalang sebagai penebang kayu tradisional, dihapus. Bila demikian halnya, dapat diduga bahwa warga Samin bertekad melindungi status bebas mereka yang bernilai tinggi dan baru mereka peroleh. Akan tetapi, tidak semua orang Kalang pada periode Hindhu menjadi penebang atau buruh kayu, beberapa di antara mereka algojo, salah satu fungsi yang mungkin paling rendah dalam skala hierarkhi Hindhu. Yang lain lagi dipola sebagai Kalang Tani yang dalam pandangan larangan keagamaan terhadap pemukiman menetap mungkin berarti menanam tanaman dalam pola tebang dan bakar dalam pembukaan hutan. Menurut Altona, istilah Kalang Tani dapat juga berarti Kalang yang menjadi terhormat, yang tentu saja akan mendukung teori emasipasinya.[16]
Hubungan lain dengan Kalang diduga muncul dari sikap Ki Samin tentang kedudukan agåmå Adam, yang menurut Niels Mulder, “…excluded belief in spirit, devils and divinities, and denies the Beneficial power of holy places, graves and fasting”[17] (melarang pengikutnya percaya kepada ruh halus, setan, dan dewa, dan menolak kekuatan bermanfaat tempat suci, kuburan, dan puasa.” Dalam hubungan ini, dapat juga dipertimbangkan pernyataan Ki Samin bahwa “… his grandfather and his ancestors already had held the religious beliefs preached by him…”[18] (… kakeknya dan nenek moyangnya sudah memeluk kepercayaan agama yang dianutnya…).
Lebih parah lagi, hubungan itu diduga dari mitos cerita kehidupan Kiai Samin Suråsentikå yang dikutip J. Bijleveld sebagai berikut:
“The following day, entirely unexpectedly, Samin, the simple villager, while passing the kabupatèn was invited inside by the regent, who sat on a chair, while Samin humbly crouched on the floor. His highness asked him about some important points. But at the same time the dog of the regent came into the pendåpå (reception hall) and started to sniff at Samin who hit the animal so hard that it ran away howling. The regent, who resented this mistreatment of his animal, asked: ‘Why, Samin, did you bit my dog? After all he did not cause you any harm. ‘No, not any harm, Lord!’ was the humble answer, ‘but dogs are dirty animals and should not touch human beings, particularly not in the kabupatèn.’ Such a reply was considered too impertinent by the regent. Enraged he stood up and shouted: ‘Seed of a dog, don’t you know whom you are talking to? Get out or I’ll have you put in chains.’ Samin quickly left thinking about the imperfection of mankind. Why did the regent have to become so upset about such an unimportant matter. But rather miraculously at noon Samin was again invited by the regent, whose anger seemed to have subsided. Again his highness discussed mystical and holy matters; and finally asked Samin to stay in the kabupatèn and have a meal. Samin could not refuse such an offer of hospitality and remained in the kabupatèn. In the evening after he had eaten the regent asked: “So Samin did you enjoy the meal?’ ‘Excellent, Lord,’ was the reply, I am a poor villager and I have never tasted something so nice.’ The regent smiled mockingly and said: ‘Do you know what you have eaten? The meat of the dog which you called a dirty animal. Yo see, Samin, how you can be mistaken, you actually enjoyed eating the meat of a dirty dog.’ On hearing this Samin became angry and left the kabupatèn. He never experienced anything like this. Mankind is wicked, even worse than a dog. But he Samin will announce teachings to save mankind. And Samin went to the high mountain and vomited; the mountain trembled. Samin vomited again and the mountain ejected large clouds of smoke through its crater. The third time that Samin vomited there occured a tremendous eruption and the whole of the surrounding region was destroyed. Samin was pushed up by the smoke into the sky and landed in the place where he had been born, Randublatung, where he started to spread his teachings…”[19]
(“Pada hari berikutnya, sepenuhnya tak terduga-duga, Samin, wong desa sederhana, ketika lewat kabupatèn, diundang masuk oleh Sang Bupati, yang duduk di kursi, sementara Samin dengan rendah hati bersimpuh di lantai. Sang Pembesar menanyainya tentang beberapa hal penting. Tetapi, saat itu anjing Bupati masuk pendåpå dan mulai mengendus-endus Samin yang memukul binatang itu dengan keras sehingga lari mengaing-ngaing. Bupati, yang marah terhadap perlakuan tak benar Samin terhadap binatang itu, bertanya, ‘Kenapa, Samin, kamu memukul anjingku? Padahal, dia tidak menyebabkan kamu terluka sedikit pun.’ ‘Tidak, tidak ada luka sama sekali, nDara!’ Si Rendah Hati menjawab, ‘tetapi anjing itu hewan kotor dan tidak boleh menyentuh manusia, khususnya tidak di kabupatèn.’ Jawaban semacam itu dipandang begitu kurang ajar oleh Bupati. Dengan geram ia berdiri dan berteriak, “Kirik (anak anjing), tahukah kamu dengan siapa kamu sedang berbicara? Keluar atau saya akan merantaimu.” Samin buru-buru pergi, seraya memikirkan ketidaksempurnaan manusia. Kenapa Bupati menjadi sedemikian marah karena masalah yang tidak penting? Tetapi, rada-rada ajaib, pada tengah hari, Samin diundang lagi oleh Bupati, yang telah dapat meredakan kemarahannya. Sekali lagi Sang Petinggi membahas masalah mistik dan hal suci dan akhirnya minta Samin tinggal di kabupatèn dan ikut bersantap. Samin tidak dapat menolak tawaran ramah itu dan tinggal di kabupatèn. Pada petang hari setelah makan, Bupati bertanya, ‘Jadi, Samin, kamu menikmati makanan itu?’ ‘Sungguh, nDårå,’ jawabnya, ‘saya orang desa yang miskin dan saya tidak pernah merasakan sesuatu yang demikian enak.’ Bupati itu tersenyum mengejek dan berkata, ‘Tahukah kamu apa yang kamu makan? Daging anjing yang kamu bilang binatang kotor itu. Kamu tahu, Samin, bagaimana kamu bisa salah, kamu menikmati makan daging anjing yang kotor.’ Mendengar ini Samin marah dan meninggalkan kabupatèn. Ia belum pernah mengalami hal seperti itu. Manusia itu jahat, bahkan lebih buruk dari anjing. Tetapi, karena ia, Samin akan menularkan ajarannya untuk menyelamatkan manusia. Dan Samin pergi ke gunung tinggi dan muntah, gunung itu bergetar. Samin muntah lagi dan gunung itu mengeluarkan awan asap besar dari kawahnya. Ketiga kali Samin muntah, terjadilah letusan besar dan seluruh kawasan sekitar itu hancur. Samin didorong oleh asap itu ke langit dan mendarat di tempat ia dilahirkan, Randublatung, tempat ia mulai menyebarkan ajarannya…”)
Karena J. Bijleveld menekankan, dengan mempertimbangkan bahwa Samin menolak Islam dan ia tidak pernah menyadari bahwa Samin mengangap anjing tidak bersih, Penders memandang kisah itu mungkin dibuat oleh orang luar. “I would like to add, a story of somebody intent on discrediting the Samins by referring to their descendancy or connections with the Kalangs, who supposedly had a dog as their ancestor. This would be something the Samins would want to forget about; and as Altona’s investigation show, the people of Kalang descent went to considerable trouble to hide any signs to their outcast origins” (Saya ingin menambahkan, kisah itu dibuat oleh seseorang dengan maksud mendiskreditkan warga Samin dengan merujukkan asal-usul atau mengaitkan mereka dengan orang Kalang, yang dianggap keturunan anjing. Ini boleh jadi sesuatu yang warga Samin ingin melupakannya; dan seperti investigasi Altona menunjukkan, orang keturunan Kalang mengalami kesulitan besar menyembunyikan tanda asal-usul mereka di luar kasta), kata C.L.M. Penders dengan mengutip penyelidikan Altona.[21]
Walau bagaimanapun, H.J. Benda dan L. Castles memandang agåmå Adam yang diajarkan Ki Samin “tanpa disadari” didasarkan pada konsep pra-Hindhu/Buddhå. Pada kenyataannya bila hipotesis Kalang-Samin diterima, hubungan itu dari sudut pandang sejarah jauh dari “disadari”. Kedua pengarang itu menunjuk agåmå Adam mengingatkan akan “… to a ‘pure’ Java, unsullied by all foreign, authority laden intrusion…” (sesuatu yang Jawa “murni”, tak tercela oleh semua campur tangan asing yang dimuatkan penguasa).[22]
Dengan kata lain, tidak ada hubungan antara warga Samin dan orang Kalang. Kaitan semacam itu tampaknya dengan sengaja ditiup-tiupkan oleh pakar pesanan pemerintah Hindia Belanda untuk menjelek-jelekkan Saminisme. Sayangnya, fakta yang dijadikan alasan itu bersifat sangat umum yang kebetulan mengandung kesamaan pandang, bukan data spesifik yang jelas-jelas mengaitkan Saminisme dengan kepercayaan orang Kalang.
Tentang asal-usul orang Kalang itu sendiri pun pantas diragukan. Tokoh Dampu Awang yang disebut T. Altona sebagai nenek moyang orang Kalang itu tidak berasal dari zaman pra-Hindhu/Buddhå, melainkan nakhoda kapal laksamana muslim Cinå, Cheng Ho (Zeng He, h. 1371–1433), utusan kaisar ketiga Dinasti Ming, Yung Lo atau Cheng Tsu (k. 1403–1424). Dampu Awang itu nama Jåwå dari Ong King Hong.[23]
Akan halnya Syèkh Bentong, mahakawi Cirebon abad ke-17 Pangéran Wångsåkertå menulis, ia itu ayah Nyai Ratna Siu Ban Ci, ibu Radèn Patah. Syèkh Bentong itu Cinå kaya dan ulama Hanafi yang tinggal di Gresik. Nama aslinya Tan Go Hwat. Ia juga murid Sunan Ampèl di Suråbåyå.[24]
Syèkh Bentong dan Ong King Hong sangat mungkin sezaman. Akan tetapi, Sunan Bonang itu, yang lahir kira-kira pada tahun 1465, putra Sunan Ampèl Bong Swi Hoo (h. 1400–1478). Jadi, kemungkinan Dampu Awang bertemu dengan Sunan Bonang tidak ada. Ong King Hong pulang ke Cinå, setelah tugas terakhir mengunjungi Samudra-Pasai pada tahun 1434, untuk menikmati hari tua dan menulis buku pengalamannya berlayar, antara lain Fu Xi Yang Sui Zheng (Perjalanan Pelayaran Menuju ke Samudra Barat).[25]
Terlalu banyak mitos yang lahir dari kunjungan muhibah Laksamana Cheng Ho yang berlangsung 28 tahun (1405–1433) ke berbagai bagian dunia, terutama ke kawasan Nan Yang (Asia Tenggara), termasuk Indonesia, khususnya Semarang.[26] Masalahnya ialah keturunan anak buah Cheng Ho dari perkawinan mereka dengan perempuan pribumi Nusantara rata-rata mendapatkan kedudukan terhormat dalam masyarakat Jåwå, baik di Kerajaan Måjåpahit maupun Kesultanan Demak dan kerajaan sesudahnya.
(Ki Slamet No One)
Catatan Kaki:
[1] C.L.M. Penders, op.cit., 1984, halaman 118, dengan mengutip T. Altona, Over den oorsprong der Kalangs, dalam Tijdschrift Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, LXII, halaman 517–518.
[2] Yang dimaksud ialah J.E. Jasper, Verslag betreffende het onderzoek in zake de Samin beweging, Landsdrukkerij, Batavia, 1918. Lihat C.L.M. Penders, op.cit., 1984, halaman 118.
[3] C.L.M. Penders, op.cit., 1984, halaman 118, dengan mengutip H.J. Benda dan L. Castles, The Samin Movement, dalam Bijdragen tot de Taal-Land en Volkenkunde, volume 125, 1969, halaman 221.
[4] C.L.M. Penders, op.cit., 1984, halaman 118.
[5] Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 4, dengan mengutip
• Th.St. Raffles, The History of Java, London, 1817, yang bersumberkan Babad Sangkålå.
• E. Ketjen, De Kalangers, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde (van het) Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (TBG), LIII, 1877, halaman 439.
• E. Ketjen, Geschiedenis der Kalangs op Java, TBG, LIII, 1877.
• Dr. Diana Nimpoeno-Moeis, Makna Folklore Sangkuriang sebagai Karya Sastra Lisan dan Fungsinya di dalam Masyarakat Sunda, disertasi, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1991.
[6] C.L.M. Penders, op.cit., 1984, halaman 119, dengan mengutip T. Altona, op.cit., halaman 517–518.
[7] Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 129–130, dengan mengutip P.S. Sulendraningrat, Sejarah Cirebon, Balai Pustaka, Jakarta, 1985, halaman 56–57.
[8] Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 131.
[9] Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 131–132, dengan mengutip Prof. Dr. Slamet Mulyana, Runtuhnja Keradjaan Hindu Djawa dan Timbulnja Negara-Negara Islam di Nusantara, Bhratara, Djakarta, 1968.
[10] W.F. Stutterheim, De Kalangs op het spoor, dalam Koloniaal Tijdschrift, volume 24,1935, halaman 101–103.
[11] C.L.M. Penders, op.cit., 1984, halaman 120, dengan mengutip T. Altona, op.cit., halaman 535–536.
[12] C.L.M. Penders, op.cit., 1984, halaman 120, dengan mengutip T. Altona, op.cit., halaman 545–546.
[13] C.L.M. Penders, op.cit., 1984, halaman 121, dengan mengutip T. Altona, op.cit., halaman 546–547.
[14] C.L.M. Penders, op.cit., 1984, halaman 121.
[15] Misalnya, menurut C.L.M. Penders, op.cit., 1984, halaman 121,:
• H.J. Benda dan L. Castles, op.cit., 1969, halaman 235,
• V.T. King, op.cit., 1973, halaman 460,
• The Siauw Giap, op.cit., 1967–1969, halaman 76,
• J.E. Jasper, op.cit., 1918, halaman 6–7.
[16] C.L.M. Penders, op.cit., 1984, halaman 121, dengan mengutip T. Altona, op.cit., halaman 534.
[17] C.L.M. Penders, op.cit., 1984, halaman 122, dengan mengutip N. Mulder, Saminism and Budhisme: a note on a field visit to a Samin community, dalam Asia Quarterly, 1974/3, halaman 255.
[18] C.L.M. Penders, op.cit., 1984, halaman 122, dengan mengutip J. Bijleveld, op.cit., 1923, halaman 10.
[19] C.L.M. Penders, op.cit., 1984, halaman 122-123, dengan mengutip J. Bijleveld, op.cit., 1923, halaman 16–17.
[20] C.L.M. Penders, op.cit., 1984, halaman 123.
[21] C.L.M. Penders, op.cit., 1984, halaman 123, dengan mengutip T. Altona, op.cit, halaman 532–533.
[22] C.L.M. Penders, op.cit., 1984, halaman 123, dengan mengutip H.J. Benda dan L. Castles, op.cit., 1969, halaman 234.
[23] Drs. Amen Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu, Jilid I, Tanjung Sari, Semarang, 1978, halaman 15, dengan mengutip
• Ma Huan, Ying Ya Sheng Lan (Pemandangan Indah di Seberang Samudra), 1451,
• Fei Xin, Xing Cha Sheng Lan (Menikmati Pemandangan Indah dengan Rakit Sakti), 1436, dan
• Gong Zhen, Xi Yang Fan Guo Zhi (Catatan mengenai Negara-negara Samudra Barat), 1434.
[24] Pangéran Wångsåkertå, Puståka Rajyå-rajyå I Bhumi Nusantårå, parwå II sargå 4, dan Puståkå Rajyå-rajyå I Bhumi Jåwådwipå, parwå I sargå 4, Cirebon, 1679–1682 dan 1687, dalam Drs. Yoseph Iskandar, Drs. Dedi Kusnadi Aswin, R. Soenarto Martaatmadja, S.E., Harry Supriadi, Tony S. Martakusumah, serta H. Gozali Sumarta Winata dan Hj. Mutiah Siti Wulandari (editors), Negara Gheng Islam Pakungwati Cirebon, Padepokan Sapta Rengga Ciapus, Banjaran, Bandung, cetakan pertama, Mei 2000, halaman 132–133 dan 40.
[25] Prof.Madya Kong Yuan Zhi, Sam Po Kong dan Indonesia, diterbitkan oleh Hj. Sri Lestari Masagung, dengan penyunting Prof. Dr. H.M. Hembing Wijayakusuma, Ph.D., Jakarta, cetakan pertama, September 1992, halaman 130–131.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar